Rabu, 08 April 2009

Kiat-Kiat Dalam Mencari Teman






Ketika Cinta Berbuah Surga

 

Di tanah Kurdistan, ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki putra; seorang anak laki-laki yang tampan, cerdas, dan pemberani. Saat-saat yang paling menyenangkan bagi sang raja adalah, ketika dia mengajari anaknya itu membaca Al-Quran. Sang raj juga menceritakan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertemppuran. Anak raja yang bernama Said itu, angat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kecil Said akan merasa jengkel jika di tengah-tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang yang memutuskannya.

Terkadang, ketika sedang asyik mendengar cerita ayahnya, tiba-tiba pengawal masuk dan memberitahukan bahwa ada tamu penting  yang hars di temui oleh raja. Sang raja tahu apa yang di rasakan anaknya.

Maka, dia memberi nasehat kepada anaknya, “Said, anakku, sudah saatnya kau mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik,yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kau ajak bercinta untuk surga.

Said tersentak mendengar perkataan ayahnya.

‘Apa maksud ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada penasaran.

“Dia adalah teman sejati yang benar-benar mau berteman dengamu, bukan karena derajatmu, tetapi karena kemurnian cinta itu sebdiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dengan dasar itu, kau pun bisa mencinatainya dengan penuh keikhlasan; karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melhirkan kekuatan dasyat yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar dan membawa  kalian masuk surga.”

“Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?”tanya Said.

Sang raja menjawab, “kamu harus menguji orang yang hendak kau jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kau anggap cocok, untuk menjadi temanmusaat makan pagi di sini, di rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu penyajian waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian  mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga butir telur. Jika dia tetapa bersabar, hidangkanlah tiga butir telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yan mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur, jika kau bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu.”

Said sangat gembira mendengar nasehat ayahnya. Dia pun mempraktekkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula-mula, dia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari mereka marah-marah karena hidangannya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji; memaki-maki kerena terlalu lama menunggu hidangan.

Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat, sepertinya dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan anak-anak yang sebelumnya. Dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah di rasa cukup, Said mengeluarkan sebuah piring berisi tiga telur rebus.

Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan? Ini tidakcukup mengisi perutku!”

Adil tidak mau menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Said sendirian. Said diam. Dia tidak peril meminta maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak lapang dada dan tidak cocok untuk menjadi teman sejatinya.

Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar kaya. Tentu saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja dia tidak makan dan melaparkan perutnya agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti enak dan lezat.

Pagi-pagi sekali, anak saudagar itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia harus menunggu waktu yang lama sampai makanan keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di atasnya.

“Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minu,” kata Said seraya meletakkan piring itu di atas meja.

Lalu, Said masuk ke dalam. Tanpa menunggu lama lagi, anak saudagar itu langsung melahap satu persatu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke meja ternyata tiga telur itu telah lenyap. Dia kaget.

“Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.

“Telah aku makan.”

“Semuanya?”

“Ya, habis aku lapar sekali.”

Melihat hal itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa di jadikan teman setia.dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Said juga belum makan apa-apa.

Said merasa jengkel kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas diajadikan teman sejatinya. Akhirnya, dia meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari teman sejati.

Akhirnya, Said berpikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, mulailah Said berpetualang melawati hutan, lading, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik.

Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang mamanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak-anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Said memperhatikannya dari balik rumpun pepohonan.

 Selesai shalat, Said datang dan menyapa, “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”

“Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”

Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain, dan menjadi temannya.

Namun, Abdullah menjawab, “Ku kira kita tidak cocok menjadi teman. Kau anak seorang kaya, malah mungkin bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.

Said menyahut, “Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya taqwa yang membuat orang mulia disisi Allah. Apa aku kelihatan seperti orang yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Mengapa tidak kita coba beberapa waktu dulu? Kau nanti bisa menilai, apakah kau cocok atau tidak menjadi temanku,”

“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat, hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seiya-sekata.”

Said menyepakati syarat yang di ajukan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari  itu, mereka bermain bersama; pergi kehutan bersama, memancing bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya berenang di sungai, menggunakan panah, dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak cerdas dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada, dan setia. Akhirnya, dia kembali keistana dengan hati gembira.

Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan.

Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu itu sedang mengujinya. Oleh karena itu, Said merasa cukup dengan apa yang di berikan padanya.

Selesai makan, Said mngucapkan hamdalah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu, dia diajari  untuk mengenalidan membedakan jenis dedauunan dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang bisa di makan, yang bisa dijadikan obat, serta yang beracun.

“Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.

Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari madrasah seperti yang ada di ibukota kerajaan. Ilmu ada dimana-mana. Bahkan, di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkanpengalaman berharga.

Ketika matahari sudah condong ke barat, Said berpamitan kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mngundangnya malan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya itu.

“Pergilah ke ibukota, berikan kertas ini kepada tentara yang keu temui disana, dia akan mengantarkanmmu ke rumahku,” kata Said sambil tersenyum.

“Insya Allah aku akan datang,’ jawab anak pencari kayu itu.

Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya, dia ragu masuk ke istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.

Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu, Said pun mengyji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lamasekali. Namun, anak pencari kayu bakar itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. Selama menuggu, dia tidak memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bengsawan bisa sebaik anak raja ini,tentu dunia akan tentram.

Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan,senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.

Akhirnya, tiga butir telur masak pun di hidangkan. Said mempersilakan temannya untuk memulai makan. Anak pencari kayu itu mengambil satu. Lalu, dia mengusap kulitnya pelan-pelan. Sementara itu, Said mengusap dengan cepat dan menyantapnya. Kemudian, dengan sengaja Said mengambiltelur yang ketiga. Dia mengupasnya dengan cepat, dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan di lakukan temannya dengansebutir telur itu, apakah akan dimakannya sendiri atau…?

Anak miskin itu mengambil pisau yang ada didekat situ. Lalu, dia membelah telur itu menjadi dua; yang satu dia pegang, dan yang satunya lagi, dia berikan kepada Said. Tidak ayal lagi, Said menangis terharu.

Lalu, Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata, “Engkau teman sejatiku! Engaku teman sejatiku! Engkau teman masuk surga.”

Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Allah SWT.

Karena kekuatan cinta itu, mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru kepada para ulama yang tersebar di Turki, Syiria, Iark, Mesir, dan yaman.

Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil; Atah Said, meninggal dunia. Akhirnya Said diangkat menjadi raj untuk menggantikan ayahnya. Mentri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, anak pencari kayuitu. Abdullah pun benar-benar menjadi teman seperjuangan dan penasehat raja yang tiada duanya.

Meskipun telah m,enjadi raja dan menteri, keduanya masih sering melakukan shalat tahajud dan membaca Al-Quran bersama. Kecerdasan dan kematangan jiwa keduanya mampu  membawa kerajaan itu maju, makmur, dan jaya; baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

 

*****

 

Berteman adalah kebutuhan mutlak bagi kita yang merupakan makhluk sosial. Sebagai sarana untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Perlu disadari, lingkungan pergaulan yang heterogen sangat signifikan dalam membentuk karakter dan akhlak seseorang. Demikian pentingnya hal di atas, tercermin dalam sabda Rasulullah SAW:

“ Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).


Di dalam menjalin hubungan pertemanan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, agar mendapat ridho dari Allah SWT. Pertama, saling menasehati ke arah kebaikan dan saling mengingatkan jika ada kesalahan atau kekhilafan. Kedua, tidak meremehkan atau memandang rendah pada teman. Ketiga, tidak iri atau dengki atas karunia yang diberikan kepada teman oleh Allah SWT. Keempat, tidak berprasangka buruk kepada teman. Kelima, tidak membicarakan aib teman. Keenam, menjaga rahasia yang diamanahkan oleh teman.

Pertemanan yang dijalin semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi bersifat sementara. Sekarang menjadi teman, mungkin besok atau pada kemudian hari akan menjadi lawan. Sedangkan pertemanan yang paling mulia adalah yang dijalin karena Allah SWT. Tidak ada tujuan apa pun dalam pertemanan mereka, selain untuk mendapatkan ridha-Nya.

''Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zholim menggigit kedua tangannya seraya berkata, aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya, dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.'' (QS Al-Furqaan [25]: 27-29).

Ayat di atas menggambarkan betapa besar penyesalan di hari akhir, karena pertemanan akrab yang telah menyesatkan dari jalan-Nya. Suatu penyesalan yang terlambat, dan merupakan resiko yang diakibatkan oleh kelalaian dalam berteman.

 

Persahabatan dan berteman amat besar pengaruhnya dalam mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi seseorang, ataupun sebaliknya, kemaksiatan dan mudarat. Hal ini bergantung pada siapa yang diajak berteman, bergaul, dan berkawan. Apakah dengan orang-orang saleh dan baik-baik ataukah dengan orang-orang fasik dan jahat. Pengaruh

tersebut tidak tampak seketika, tetapi sedikit demi sedikit dan sesuai dengan lamanya persahabatan dan pergaulan, dengan orang-orang baik-baik atau dengan yang jahat tadi. Nabi Saw. pernah bersabda:

"Seseorang akan dikumpulkan bersama kawan karibnya (atau seseorang akan dikumpulkan bersama siapa yang dicintainya) ." (Hadis sahih dari Ibn Mas& rsquo;ud)

& ldquo;Keadaan hidup seseorang sesuai dengan sahabat karibnya, maka hendaknya setiap orang memerhatikan siapa yang dijadikan sahabat.” (HR Bukhari)

 

"Perumpamaan teman berbincang yang baik, ibarat seorang penjual wewangian. Adakalanya engkau diberinya atau membeli darinya atau beroleh bau wanginya. Dan, perumpamaan sahabat yang jahat ibarat peniup puputan', adakalanya engkau terbakar percikan apinya atau terkena bau busuknya." (HR Muslim)

 

Neraca untuk Menilai Pergaulan

 

Barang siapa ingin mengetahui adakah dari sahabatnya ia beroleh penambahan iman, agama, dan amal; ataukah justru menderita kekurangan darinya, hendaknya merenungkan kembali keadaannya sebelum persahabatan dan pergaulannya dengan orang tersebut. Yakni, dalam hal keteguhan iman dan agamanya, demikian pula akhlak mulia yang disandangnya, niat-niat baik yang dipendamnya, serta semangatnya yang kuat untuk melakukan ketaatan dan kebajikan. Kemudian, memerhatikan keadaannya dalam semua itu setelah bergaul dan berteman. Jika ia mendapati bahwa sifat-sifat dan amal baik itu telah bertambah kuat dan kukuh, semangatnya untuk itu serta tekadnya untuk mempertahankannya pun makin bertambah, maka ia dapat merasa lega bahwa pergaulan dan persahabatannya itu telah mendatangkan manfaat baginya dalam agama dan jiwanya.

 

Di samping itu, jika ia meneruskan persahabatannya dan menjadikannya sebagai kebiasaan yang dipegangnya erat-erat, pasti akan membawanya pada manfaat yang lebih

besar serta kebaikan yang lebih berlimpah, insya Allah.

Namun, jika ia memerhatikan keadaan dirinya setelah pergaulannya itu dan melihat bahwa perilaku dan semangat keagamaannya, seperti tersebut di atas, justru menjadi lebih lemah dan goyah, hal itu menunjukkan bahwa pergaulan dan persahabatannya itu telah mendatangkan mudarat yang senyata-nyatanya bagi agama dan jiwanya. Di samping itu,

jika ia meneruskannya, niscaya hal itu akan menjerumuskannya ke dalam mudarat dan kejahatan yang lebih besar dan lebih banyak. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.)

 

Dengan cara itu pula, hendaknya ia memerhatikan kembali sifat-sifat buruk yang ada pada dirinya sendiri sebelum persahabatan tersebut dan sesudahnya.